Sebut saja Fea dalam perjalanan
pulang menuju Bandara Sepinggan ia lama merenung menyadari bahwa kali ini benar
– benar kelewatan. Dodid lagi – lagi membuat masalah dan menyusahkan orangtuanya
sendiri. Fea masih tak habis pikir apakah tujuan si dodid apakah semua balas
dendam atas segala hal yang pernah terjadi padanya sebelumnya, padahal fea
telah bersusah payah menyusulnya ke Banjarmasin meski tau bahwa banyak keluarga
dari si dodid yang tidak menyukai dirinya.
Fea tidak peduli atas semua itu
karena demi cintanya dia berjuang mempertahankan hubungan mereka.
Tapi kini tidak lagi. Bagaimana mungkin
dodid berkata dengan santainya bahwa masa depannya terancam.
Fea geram mendengar kata itu “apa
maksudmu?”
“atas semua pengorbanan yang
telah ku lakukan?”
“maksudmu kau berhenti kuliah
karena menikah denganku? Memangnya saya menyuruhmu untuk berhenti kuiah? Bukankah
hal itu dikarenakan adikmu akan kuliah jadi difokuskan dengannya. Dan karena spp
sekolah swasta yang kau bayar begitu mahal.
“itulah mengapa bahwa tidak
kurang pengorbananku selama ini”
“menurutmu bagaimana dengan saya
yang keluar dari kantorku, demi mengikutimu kemari”
Garis besar perdebatan mereka
hingga mencapai puncak emosi. Untuk kesekian kalinya dodid mengungkit soal masa
depannya yang terancam hingga membuat fea tidak ingin pulang ke kos
mengikutinya. Dodid berusaha membujuk dengan kasar, memaksa fea untuk pulang,
hari telah gelap.
Karena masih marah dan masih
tidak ingin beranjak dari tempat duduknya di sebuah gubuk di sawah. Dodid
memukul gadis itu.
“kenapa kamu memukulku?”
Fea makin tak ingin pulang
Dodid menariknya…kasar hingga
terjatuh ke atas tanah, lalu mengambil cangkir diatas meja kayu dan memukulkan
2 gelas kaca itu pada kepalanya. Darah segar bercucuran.
“saya mau pulang ke manado saja,
kau tidak berubah, saya mau telepon orang rumah”
Baru mengambil handphone
gengggamnya disaku jaket yang ia kenakan. Dodid merampas hp itu dari
genggamannya, mencakar dan mengambil dengan paksa. Lalu dibantingnya hp nokia
bercasing putih itu.
“bagaimana saya akan menelepon,
kartuku hanya itu?”
“hp itu punya mamak juga”
“kau sudah janji tidak akan
menghancurkan barang – barang, Saya mau kerumah tante saja”
Kembali ditariknya fea hingga
terjerembab ke tanah, jilbabnya ditarik hingga miring tak beraturan.
“tolong – tolong saya mau dibunuh”
Dodid menutup mulut fea dengan
telapak tangannya dengan kasar hingga menyebabkan bibir fea berdarah. Pikirnya takut
warga desa akan datang mengeroyoknya jika teriakan fea terdengar. Ia mengambil
parang panjang yang terselip dibawah tikar tempat tidur di gubuk milik
neneknya.
“Kalau kau tidak mau pulang, biar
mati saja” diarahkan parang itu ke perutnya.
“jangan dodid….jangan !!!, ia
saya pulang ke kos kita, saya jalan kaki saja, pasti saya pulang”
“tidak !!! kau pulang denganku
naik motor, kalau tidak” masih mengarahkan parang ke perutnya
“saya takut dengan kau”
“saya tidak akan bunuh kau”
Dengan tertekan dan ketekutan,
karena pikir fea dodid seperti orang gila tidak peduli melukai dirinya atau
oranglain ketika ia sedang emosi dan ini bukan pertama kalinya hal ini terjadi.
Lamunan fea terhenti ketika mobil
travel yang mereka kendarai telah tiba di Bandara.
Sehari semenjak kepergian fea, ia
mengaktifkan hp lamanya usai dicas. Sebuah pesan masuk. Rupanya pesan yang
dikirim kemarin malam.
“Fea ini mimpi kan? Iyakan fea?,
besok saya ke ladang, fea dirumah siang saya pulang bawa oleh – oleh telur atau
apa, besok masih seperti biasa kan fea, saya sayang fea, pokoknya besok tetap
seperti biasa, saya sayang sekali kau”
“Bisa – bisanya kamu berkata
demikian setelah semua yang telah terjadi. Bahkan kau memakiku di depan
orangtuamu” keluhnya dalam hati.
Sebenarnya fea sedih mengapa
akhirnya seperti ini. Dodid masih sempat meneleponnya dibandara dengan terisak
tangis dan berkata menyesal. Tapi fea tek bergeming, sakit hatinya lebih dalam
dari rasa sayangnya.
Seminggu kemudian setelah
perpisahan, fea kembali mengaktifkan hpnya. Tak berapa lama sebuah panggilan
no. baru masuk.
“kenapa hpmu tidak aktif fea? Mengapa
kau blokir no. hpku?”
Fea masih diam, mendengar keluhan
diseberang sana
“kau marah?”
“ya”
“saya minta maaf, nanti saya
jemput kau di manado, kita bertemu di bandara”
“saya tidak mau”
“kamu sudah tidak sayang lagi
sama saya”
“kamu sudah membiarkan saya
pergi, ya sudah begitu saja”
“saya janji akan jaga kamu dan
tidak akan pukul kamu lagi”
“orangtua kita tidak akan setuju
jika kita bersama lagi”
“kita hidup berdua, kau kabur
saya juga”
“sebelumnya saya pernah kesana,
kau memaafkan saya, dan saya benar – benar berubah, saya tidak memukulimu lagi,
dan saya tidak mengungkit sepupumu lagi, karena saya merasa berdosa dengan anak
yatim, tapi apa yang saya dapat kau malah tidak berubah, jadi sekarang untuk
apa?”
“kali ini saya benar – benar berubah”
“kau yang kemari, kita tinggal
disini”
“saya kerja disini”
“saya juga kerja disini”
“ortuku tidak akan marah lagi,
kalau kau mau tinggal dirumah bersama mereka”
“janjimu sebelum kita menikah,
kau mau tinggal dimana saja, dan bekerja apa saja”
“tapi tidak di manado”
“kau banyak ingkar janji, ya
sudah ikhlaskan saja yang terjadi biarlah berlalu, begitu memang patah hati
awalnya sakit, nanti akan terbiasa”
Fea
teringat akan cinta pertamanya yang sampai saat ini masih ia cintai, ia pernah
meminta kesempatan untuk berubah dan kembali bersama, namun tidak terjadi, kali
ini berbalik seorang pria meminta kesempatan itu, ia memaafkannya tapi ia ingin
pria itu hidup bersama dengannya di Kota Manado memulai dari awal kehidupan
mereka, tapi sepertinya soal janji dodid APAPUN YANG TERJADI AKAN SELALU
BERSAMA hanyalah tipuan semata. Akhirnya mereka menyerah dan mengembalikan
semua pada takdir.