Kamis, 14 Maret 2019

Mengenang 28 September 2018



Bagi kami meski pernah merasakan dinginnya malam, beratapkan langit, dan beralaskan tanah pasca gempa, tsunami, dan likuifaksi yang terjadi pada tanggal 28 September 2018 di beberapa titik lokasi di Sulawesi Tengah, bagaimanapun Sulawesi Tengah tetap menjadi tempat kami untuk hidup.



Saat itu aktivitas di pasar terhenti, toko-toko yang berjualan tutup, air bersih terbatas, listrik padam, antrian bensin di pertamina berderet meliuk-liuk menyerupai jalan di Kebun Kopi. Rumah bukan lagi sebagai tempat berlindung dari gelapnya malam. Orang-orang berlari menjauhi bangunan roboh, ada yang berbondong-bondong mengungsi ke luar daerah Sulawesi Tengah, ada juga yang bertahan dengan sisa baju yang melekat di badan. Isak tangis mengharu biru atas korban bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi. Banyak teman, kerabat, dan keluarga yang telah berpulang ke rahmatullah.

“Jika tidak merasakan sakit, kamu tidak akan tau bagaimana rasanya bangkit”

Trauma masih berkepanjangan, namun hidup terus berlanjut. Rasa sakit berangsur-angsur pulih berubah menjadi semangat untuk bangkit.

Bantuan baik dari dalam maupun luar negeri mulai berdatangan. Jasa para relawan yang tanpa mengeluh mendistribusikan bantuan kepada korban bencana alam hingga ke pelosok desa. Bantuan berupa sembako, obat-obatan, pakaian layak pakai, dan tenda-tenda pengungsian.

Seminggu pasca bencana aktivitas jual beli di pasar kembali normal, sebagian toko mulai buka. Petugas PLN bekerja dengan cepat memperbaiki tiang dan gardu listrik, sehingga komunikasi via selular bisa digunakan. Penerangan berangsur membaik, pertamina beroperasi seperti sedia kala. Kegiatan perkuliahan berlangsung di tenda-tenda yang didirikan, begitu pula dengan proses wisuda mahasiswa(i) yang berlangsung khidmat. Anak-anak yang menempuh Sekolah Dasar, bersekolah selama 3 jam dalam sehari. Setelah selesai mata pelajaran diselingi dengan Trauma Healing yaitu kegiatan yang bertujuan memberikan informasi mengenai mitigasi bencana, sekaligus penerapan ilmu psikologi sebagai upaya untuk menghilangkan trauma mereka. Semangat bangkit semakin kuat dengan dibangunnya hunian sementara lengkap dengan sarana MCK bagi masyarakat yang kehilangan tempat tinggal, serta akses jalan secara bertahap mengalami perbaikan.

Tularkan semangat untuk bangkit dimulai dari diri sendiri, lalu sebarkan ke seluruh penduduk Sulawesi Tengah. Bukankah kita merindukan suasana ketika menikmati terik matahari, sambil memancing ikan atau memandangi matahari terbenam sembari meneguk secangkir kopi yang disajikan oleh beberapa warung sederhana yang berjajar di pinggir pantai. Kini kami mulai melakukan kegiatan tersebut. Kami tidak lagi takut berkunjung ke pantai dan kini kami sudah bisa mencicipi jajanan pedagang kaki lima yang menjual kacang rebus dan jagung bakar di sekitar lokasi pantai.

#SulawesiTengahBangkit