Rabu, 07 Agustus 2019

MISS STALKER


PROLOG

Saya menulis cerpen ini spesial saya persembahkan buat Lulu, karena setelah melalui debat panjang dia berhasil meyakinkan saya untuk mau menulis postingan di ig kotakusulteng.

Flash back sedikit...bermula dari Pak Lubis yang mengupload video di grup internal TIM KOTAKU SULTENG dan teman-teman TF 05 yang juga terlibat dalam serangkaian kegiatan.





Saya juga tidak menyangka apa yang saya tulis akan terekspos sebegitunya,,, karena memang salah satu hoby saya adalah menulis di waktu luang. Saya sempat drop pernah coba mengirim cerpen ke tabloid ternama Indonesia, dan itu the first time for me mencoba mengirim ke penerbit, namun tidak mendapat respon.

Nah kali ini saya merasa termotivasi kembali berkat mereka dan juga salah satu anggota pemandu KMP Pusat Pak Immanudin. Saya berterima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan beliau yang membuat tulisan saya terbit di Kotaku Nasional.

Anyway saya hanya manusia biasa yang terus belajar mengasah kemampuan...yang tentu saja tak luput dari kesalahan baik dari segi alur cerita maupun penggunaan tanda baca dan kalimat-kalimat yang mungkin kurang tepat. Untuk itu saya mohon maaf dan kedepannya akan lebih fokus lagi dalam pengembangan diri. 

"Semoga sehat selalu dan jangan lupa bahagia...".










                                                                MISS STALKER


Aku menatap layar handphoneku. Seperti biasa saat terbangun di pagi hari dan sebelum tidur. Meski tiap hari minimal lima puluh notification terkirim ke facebookku, kadang aku membiarkannya, mengendap di sana, tanpa kubaca. Sudah setahun semenjak peristiwa kecelakaan itu. Aku menyibukkan diri pada sesuatu yang kusebut Miss Stalker. Aku merasa dia telah menjadi bagian terpenting dalam hidupku. Bagaimana tidak karenanya aku berhasil mengatasi perasaan terintimidasi oleh keganasan ibu–ibu rumpi. Aku bisa membalas umpatan mereka dengan lantang, mengucap sumpah serapah sesukaku, tanpa perlu berhadapan langsung. Tentu saja aku sangat ingin melabrak si biang gosip, namun aku memilih seolah-olah tak peduli dengan mereka. Aku ingin mereka melihatku baik–baik saja.

Setengah jam berlalu, duduk mengamati bentuk Jembatan IV dari bawah pohon trembesi. Jembatan yang menghubungkan antara Kecamatan Palu Barat dan Palu Timur yang lebih terkenal dengan nama Jembatan Kuning. Sesekali aku berpindah tempat mencari angel yang pas untuk mengabadikan potret objek yang membentang dihadapanku. Tak berapa lama dari kejauhan sosok seorang pria menghampiri tempatku berpijak. Aku tak bermaksud seperti tak menyadari kedatangannya. Sampai ketika pria itu bertanya, “Sendirian?,” sosok itu tersenyum tipis, basa–basi seperlunya, akupun mengangguk sambil lalu, namun sekilas memperhatikan perawakan pria yang kini telah merebahkan bahunya pada pohon di tempat semula aku duduk. Pria yang tampak lebih tua dariku itu bertubuh kurus, tingginya kira–kira 170 cm, berkulit sawo matang, bermata teduh. Pria itu meletakkan ransel ke atas pangkuannya, merogoh ke dalam tas, lalu mengeluarkan selembar kertas dan sebuah pensil. Sekitar lima menit melempar pandang ke objek yang sama seperti yang kuamati. Kemudian pria yang berumur sekitar 30-an itu dengan luwesnya
menggerakkan jemarinya, membuat sketsa.

Setelah menyikat gigi dan meminum segelas air putih aku menaiki ranjang tempat tidurku. Merenung sejenak sambil mengendus kesal mengingat perbincangan di ruang makan tadi. Tentang aku yang mendadak memutuskan berhenti dari tempatku bekerja. “Biarlah mereka berpikir dengan cara mereka sendiri, aku pun berhak tak memberikan penjelasan,” pikirku. Empat tahun enam bulan menempuh pendidikan sebagai mahasiswi teknik. Meski tidak mendapat predikat Cum Laude setidaknya aku pernah menjadi salah satu mahasiswi berprestasi yang terbukti dengan terpilihnya aku menjadi Beswan Djarum. Sejarah masa lalu yang cukup membanggakan, namun seakan tak berarti saat ini. Kenyataannya sudah berbulan-bulan aku menjadi penghuni tetap kamar tidurku. Menunggu panggilan interview. Awalnya aku bukanlah tipe orang yang aktif di sosmed. Hp bagiku sudah bisa digunakan untuk menelpon dan mengirim pesan saja itu lebih dari cukup. Aku tidak tertarik dengan aplikasi dunia maya yang penuh dengan kepalsuan, tidak penting bagiku, hanya membuang–buang waktu. Ternyata aku salah. Aku berubah. Tiga bulan belakangan ini aku telah menjadi seorang maniak facebook.

Miss Stalker. Foto profil pemilik akun itu menampakkan sosok gadis muda, berhidung mancung, kulit kuning langsat, bibir kecil dan bermata bulat yang besar. Siapa yang tidak ingin berteman dengannya, sebagian besar permintaan pertemanan yang dikonfirmasi berasal dari kumpulan kaum adam. Akun ini menjadi viral, memiliki ribuan followers. Dialah ratu dunia maya, bukan sekadar berwajah cantik, tapi juga memiliki kepribadian yang menarik. Akun ini sering memposting artikel yang tiap kali muncul diberanda seakan memberi motivasi tersendiri bagi pembacanya. Tak heran sekali posting status minimal mendapat seribu like dari teman dunia maya, termasuk tetanggaku yang hobi rumpi sering kali berjubel membanjiri kolom komentarku. Meskipun biodata, termasuk foto yang kuupload adalah palsu, tetapi konten cerita yang kubagikan benar terjadi di kehidupan. Dan melalui akun ini pula aku bisa berkenalan dengannya.

Sore itu aku menyesap secangkir saraba, sambil menatap keluar jendela ruang kerjaku. Beruntung menyaksikan pemandangan laut biru di depan kantor baruku. Semilir angin yang berhembus, deburan pasir bertabrakan dengan ombak, bunyi kicau burung–burung, juga pohon kelapa berjajar menjulang tinggi. Aku bisa melihatnya dengan jelas dari sini, terkadang jiwaku seolah ikut hanyut ke dalam dasarnya. Ditambah lagi penjual minuman sejenis Susu Telur Madu Jahe ini bisa kupesan dan diantar langsung ke ruanganku.
“Lengkap sudah kenyamanan ini,” gumamku seraya bertopang dagu. Sore itu pukul 17.15 WITA. Sebenarnya sejak jarum jam menunjukkan lagi lima menit pukul lima, karyawan di perusahaan ini sudah seperti cacing kepanasan, ingin segera meninggalkan perusahaan. Sepertinya hanya aku saja yang terlihat betah berlama–lama di kantor. Mengapa tidak memanfaatkan free wifi bisa membantuku menghemat pembelian paket data internet. Aku juga bisa kembali keduniaku, dunia palsu yang kuciptakan, meskipun secara kesuluruhan tidaklah palsu.

Aku membuat album berisi kumpulan beberapa foto Jembatan Kuning yang kujepret seminggu yang lalu. Mengingat hari itu, terlintas di benakku tentang sosok pria yang sempat menyapaku, meskipun akhirnya kami tidak melanjutkan obrolan, tidak saling menanyakan nama, apalagi bertukar nomor telepon. Semenit kemudian setelah memposting album, aku mendapat inbox. Tertulis disitu, “Bisakah aku bertemu wujud asli pemilik akun ini?.” Aku terdiam sejenak berusaha mencerna maksud kalimat itu. Aku mengerti, orang ini bisa saja mengetahui identitas asliku. Alih–alih bertanya ini lebih terlihat sebagai peringatan. “Tapi siapa dia?.” Aku tidak pernah menceritakan kepada siapapun perihal akun ini. Aku lekas membuka profil pengirim pesan. Acen Darius, begitu nama yang tertera di sana, namun nama itu tidak menjelaskan apa–apa. Acen tidak mengisi biodata seperti nomor kontak, jenis kelamin, bahkan dia tidak pernah memposting apapun mengenai dirinya. Dia hanya berteman secara serampangan, kulihat dari daftar pertemanannya yang hanya berjumlah lima puluh orang, termasuk aku salah satunya. Bahkan aku tidak pernah ingat kapan mulai berteman dengannya. Aku tidak membalas pesan itu.
“Aku tidak boleh gegabah bisa jadi orang ini hanya asal bertanya. Mari kita lihat apa langkah selanjutnya yang akan dilakukan Acen Darius,” gerutuku.

Untuk pertama kalinya aku penasaran pada teman dunia maya, sebelumnya aku tak peduli mereka tak mengenalku secara asli, akupun tak begitu ingin tahu siapa mereka, ini hanya sebatas pelarian yang kugunakan ketika bosan dengan rutinitas teratur. Setiap orang memiliki cara sendiri menikmati kesendiriannya. Sebulan setelah menerima pesan. Acen kembali mengirimiku. Kali ini bukan pertanyaan yang berbau identifikasi. Dugaanku meleset mengenai Acen yang akan menyerang dengan mencari bukti untuk membongkar kedok Miss Stalker atau mengancamku agar memberikan uang tutup mulut karena telah melakukan pelanggaran UU ITE. Seperti pada beberapa kasus penyalahgunaan akun yang sempat booming di media online baru–baru ini. Kenyataannya berbalik seratus delapan puluh derajat. Kami malah mulai berkomunikasi dengan rutin, seperti layaknya teman dekat, sering chatting di messenger, saling berbagi cerita mengenai kehidupan kami. Segala hal semakin intens, terkadang saking mengalirnya sampai melewatkan jam makan siangku. Lama–kelamaan terasa seakan-akan seperti sepasang kekasih yang menjalani long distance relationship. Bedanya aku tidak mengetahui dengan pasti kepada siapa aku mengirim pesan. Aku sempat berpikir ini gila jika aku sampai jatuh cinta pada orang asing yang belum pernah kutemui, karena bisa jadi Acen adalah seorang wanita. Aku belum pernah mendengar suaranya. Aku takut jika ingin berbicara dengannya, dia akan mengajakku untuk bervideo call. Itu akan membuka rahasiaku sendiri, yang selama ini telah kusimpan dengan baik. Dia mungkin sudah tahu rahasiaku. “Entahlah, aku masih belum siap dengan segala kemungkinan,” erangku dalam hati. Aku sudah terlanjur terjebak dalam situasi ini. Tetapi mengapa bimbang? Toh, tidak ada yang merasa dirugikan, kami menghargai cara pertemanan kami sebatas ini. Acen sendiripun tidak pernah mengajakku VC ataupun bertemu, mungkin dia berpikir dumay sudah biasa dengan permainan, jadi aku tinggal melanjutkan saja. Setidaknya untuk sementara ini, hingga kami telah mencapai titik jenuh dari penggunaan sosmed. Walaupun begitu entah mengapa jujur di dalam hati, aku mulai rindu pada kekonyolan kata–kata Acen yang membuatku tertawa, yang kerap kali diselipkannya dalam percakapan kami.

Malam minggu. Aku menghabiskan waktu di kantor. Mencoba menyelesaikan rekap laporan bulanan yang seperti biasa kukerjakan. Aku berniat mengejar batas deadline proyek yang sebelumnya sempat mandek akibat doublejob yang kuterima. Tidak mudah memiliki pekerjaan cadangan, setelah dinyatakan terikat pada kontrak perjanjian kerja yang harus kujalani selama tiga tahun kedepan, tentunya bekerja secara fulltime. Ya, aku bekerja di sebuah Perusahaan Kontraktor. Arthur Paradise, nama perusahaan tempatku bekerja saat ini. Aku terbiasa bekerja di bawah tekanan, selama kinerja yang kuhasilkan sebanding dengan upah yang kudapatkan, begitulah prinsipku.
“Apa yang kau inginkan untuk makan malam?,” suara seorang pria memecah keheningan diantara kami. Aku baru sadar sedari tadi tidak sendirian di dalam ruangan ini.
“Kau bisa memesan padaku, karena aku berencana keluar sebentar untuk mengisi bensin sekaligus membeli makanan,” jelasnya.
“Aku ingin makan tabaro dange,” sinar mataku berkilat–kilat saat menyebutkan nama jenis makanan itu.

“Oke,” balas Moha singkat, mengerti maksud tatapanku. Dia sudah meraih gagang pintu. Tak berapa lama sampai pemilik tubuh jangkung itu menghilang dibalik pintu.

Sejam kemudian Moha telah kembali dengan membawa bungkusan plastik berwarna hitam. Dia meletakkan bungkusan itu di atas meja kayu persegi panjang. Aku segera menghampirinya, membuka bungkusan mengatur isinya pada piring. “Kau mau kopi?,” tanyaku, sambil menuangkan gula pasir ke dalam dua gelas kaca. Moha menatapku dari sudut meja kerjanya sembari tersenyum kecil. Aku mendekat ke arahnya, membawa dua gelas kopi dan sepiring tabaro dange. Belum lima menit berdiri, Moha sigap lekas menarik sebuah kursi, lalu diletakkan tepat di samping kursi yang ditempatinya.
“Duduklah, aku ingin menunjukkan sesuatu,” ucapnya lembut, sambil membuka folder pada dekstop komputernya. Aku melihat beberapa gambar rendering desain Ruang Terbuka Hijau yang dibuat olehnya.

“Ini bagus,” kataku, menatap dengan kagum.
“Syukurlah,” Moha mendesah lega, “Bagaimana dengan laporanmu?,” sambungnya lagi.
“Oh itu, hampir selesai, besok aku tinggal membuat salinannya,” sambil memasukkan potongan demi potongan kudapan khas Kota Palu yang terbuat dari sagu berisi gula merah itu ke dalam mulutku. Aku sadar dia mengamatiku makan dengan lahap. Mata kamipun akhirnya beradu ketika aku mulai meneguk kopi hitam yang sudah setengah jalan masuk ketenggorokan, tiba–tiba aku tersedak. Moha lekas mengambilkan tisu, menempelkannya ke sudut bibirku, aku refleks mengambil alih tisu itu, membersihkan sendiri, karena saat itu aku merasa wajahku memanas, meski tidak sepanas seperti kala Acen menggodaku diobrolan.

Keesokan harinya, aku sengaja bangun terlambat. Hari ini libur, waktunya metime. Aku bermalas–malasan, menghempaskan punggung ke sandaran ranjang tidurku yang empuk. Aku teringat pada Moha. Malam itu kami duduk begitu dekat. Aku bisa memperhatikan wajahnya dengan baik. Dia memilki mata cokelat yang indah. Aku senyum–senyum sendiri ketika membayangkan kejadian itu. Moha adalah karyawan baru yang sejak seminggu ini telah bekerja di perusahaan yang sama denganku. Dia memilki kepribadian yang hangat, bertutur kata sopan. Hal itu yang membuatnya begitu mudah menempatkan diri dan bekerjasama dalam tim. Aku merasa kami cocok menjadi rekan kerja. Dia mengagumkan dan kami bisa bertukar pikiran secara live. Ketika memikirkan kalimat terakhir membuatku terbesit pada seseorang yang tidak pernah berkomunikasi secara langsung denganku. Lekas meraih handphone yang semula kuletakkan di atas bufet kecil. Sudah tiga hari ini aku tidak mengaktifkan Messenger. Terlalu sibuk membenamkan diri pada pekerjaan di kantor. Begitu kuaktifkan rentetan bunyi pesan masuk dan pemberitahuan berdenting memenuhi ruang kamarku. Tentu saja dua puluh lima pesan masuk dari Acen. Sementara kubaca satu persatu, tetapi belum selesai membaca, tiba–tiba panggilan masuk tertera di layar. Acen menelponku. Sebelah tanganku terangkat memegang hp, lalu kutempelkan ketelinga.

“Halo Gea, kamu di mana?, mengapa baru aktif sekarang?,” terdengar suara cemas di ujung sana. Acen sangat mengenalku. Dia menyebutkan namaku. Sedikit lega bisa memastikan bahwa aku bukanlah seorang lesbian. Meskipun begitu rasanya masih tidak adil jika hanya aku yang tidak mengetahui siapa sebenarnya Acen Darius. Aku memintanya untuk bertemu. Dia mengiyakan keinginanku, tetapi kami tidak bisa segera bertemu. Acen harus menyelesaikan beberapa urusan pekerjaannya di Samarinda. Dia berjanji awal bulan depan ia akan terbang berkunjung ke Kotaku. Sebagian fakta baru terungkap. Mengenai Acen yang bekerja disalah satu Perusahaan Konsultan terbesar di wilayah Kalimantan Timur, tepatnya di Samarinda Seberang. Entah mengapa ketika Acen menyebutkan kota tempat domisilinya, mendadak membuatku sedih, membuka tabir lama. Luka di masa lalu yang belum sepenuhnya terhapus. Meski kuakui kesedihan itu mulai berkurang, bahkan pernah kulupakan, semenjak aku mengenalnya. Dia yang membuatku bangkit kembali. Setiap obrolan kami, melalui akun Miss Stalker. Dia telah mengajariku untuk ikhlas melepaskan dan tegar menghadapi kenyataan.

September 2017 adalah hari pertemuan yang telah lama kunantikan. Butuh waktu sejam aku berdandan, mengenakan pakaian terbaik. Betapa senangnya aku, karena sore itu aku bertekad untuk mengatakan semuanya. Alasanku membuat akun palsu. Kami sepakat bertemu di salah satu rumah makan khas kaili, yang menu utamanya menyajikan kaledo, sup tulang sapi yang dimasak empuk dengan campuran bumbu seperti asam jawa, cabe rawit dan garam. Sup ini biasanya dimakan bersama dengan ubi rebus. Bukan hanya hidangannya yang memanjakan lidah, tapi juga suasana tradisional yang nyaman melekat erat pada rumah makan ini. Pada bagian atap bangunan ini terbuat dari rumbia dan berbentuk piramida menyerupai Rumah Tambi, Rumah Adat Tradisional Sulawesi Tengah. Aku tiba lebih awal di rumah makan itu, dan memilih meja makan yang dekat dengan jendela besar. Betapa terkejutnya aku setelah pergi sebentar memesan makanan, mendapati sosok pria yang pernah kutemui sebelumnya, telah duduk dibalik meja yang kupilih.

“Kamu orang yang membuat sketsa di Jembatan Kuning itu?,” sambil menunjuk orang yang kumaksud, meskipun tidak sopan.
“Benar itu aku, Gea Indriani.” Aku tidak menyangka dengan apa yang akan kudengar, bahwa dari awal Acen sudah tahu soal Miss Stalker adalah akun palsu yang sengaja kubuat. Acen melanjutkan penjelasannya. Dalam sekejap mata memori setahun yang lalu kembali berputar di hadapan kami.

Malam itu langit berubah gelap, angin berhembus kencang, merontokkan dedaunan pada pohon diiringi rintik hujan yang semakin lama bertambah deras. Aku berlari keluar dari rumah, disusul oleh seorang pria yang berlari mengejarku. Tanpa pikir panjang aku sudah melangkah menuju jalan beraspal. Sebelum sempat menyeberang, terlebih dulu sebuah mobil melaju, makin dekat kearahku. Aku pasrah dengan yang akan terjadi. Tahu–tahu sebuah tangan mendorongku, aku tersungkur jatuh ke sisi jalan. Dari kejauhan samar kulihat seorang pria tergeletak di sana, mulutnya bergerak seperti menyebutkan sebuah nama. Aku tak mendengar apa yang dikatakannya, namun aku tau pria itu memanggil namaku, perlahan. Sementara bercak darah segar yang berceceran mulai hilang oleh guyuran air hujan.

Tak berapa lama akupun kehilangan kesadaran. Air mataku seketika tumpah, jatuh bercucuran, membasahi pipi dan berakhir di pangkuan. Pengemudi mobil itu adalah Acen. Dia telah berusaha menyelamatkan kami, dengan melarikan aku dan pria itu ke rumah sakit terdekat. Namun Tuhan berkehendak lain. Suamiku telah tiada. Setelah peristiwa itu aku memutuskan pulang kerumah orangtuaku di Kota Palu. Rupanya pertemuanku dengan Acen sewaktu itu bukanlah kebetulan. Dia ingin meminta maaf, namun bibirnya beku ketika mendapati sikapku yang tak acuh, meskipun dia sadar aku tak mengenali dirinya. Acen sudah lama mencari tahu tentangku. Dia dihantui oleh rasa bersalah, apalagi setelah dia mendengar kabar bahwa setelah kejadian itu aku mulai tertutup, menjauhkan diri dari pergaulan, dan berhenti dari tempatku bekerja. Sampai ketika Acen menemukan akun yang memposting foto Jembatan Kuning. Dia langsung tahu bahwa Miss Stalker adalah aku. Penjelasan Acen berhenti seiring dengan datangnya pelayan yang menghampiri meja kami, membawakan dua gelas air putih. Aku menghabiskan semangkuk kaledo, meskipun kuah sup telah berubah menjadi dingin. Setelah hari itu kami tidak pernah lagi saling menghubungi. Sebenarnya aku tidak membenci Acen. Terlepas dari semua hal yang telah terjadi. Aku telah jatuh cinta.
Setahun kemudian tanpa sengaja kami bertemu kembali. Di sore hari di tempat yang sama, duduk berdampingan memandangi jembatan dari bawah pohon.

“Mungkin terlambat untuk mengatakan ini, tapi kau harus tahu aku mencintaimu. Apakah kau telah menikah dengan pemilik mata cokelat itu?,” kau pernah berkata dia mengagumkan,” tambahnya.
“Benar, dia memang mengagumkan, tapi sayangnya aku sedang menunggu seseorang datang dari Kalimantan.” Acen tersenyum lebar dan menatapku dengan mata yang berbinar–binar.