PROLOG
Saya menulis cerpen ini spesial saya persembahkan buat Lulu, karena setelah melalui debat panjang dia berhasil meyakinkan saya untuk mau menulis postingan di ig kotakusulteng.
Flash back sedikit...bermula dari Pak Lubis yang mengupload video di grup internal TIM KOTAKU SULTENG dan teman-teman TF 05 yang juga terlibat dalam serangkaian kegiatan.
Saya juga tidak menyangka apa yang saya tulis akan terekspos sebegitunya,,, karena memang salah satu hoby saya adalah menulis di waktu luang. Saya sempat drop pernah coba mengirim cerpen ke tabloid ternama Indonesia, dan itu the first time for me mencoba mengirim ke penerbit, namun tidak mendapat respon.
Nah kali ini saya merasa termotivasi kembali berkat mereka dan juga salah satu anggota pemandu KMP Pusat Pak Immanudin. Saya berterima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan beliau yang membuat tulisan saya terbit di Kotaku Nasional.
Anyway saya hanya manusia biasa yang terus belajar mengasah kemampuan...yang tentu saja tak luput dari kesalahan baik dari segi alur cerita maupun penggunaan tanda baca dan kalimat-kalimat yang mungkin kurang tepat. Untuk itu saya mohon maaf dan kedepannya akan lebih fokus lagi dalam pengembangan diri.
"Semoga sehat selalu dan jangan lupa bahagia...".
MISS STALKER
Aku menatap layar handphoneku. Seperti biasa saat terbangun di pagi hari dan sebelum
tidur. Meski tiap hari minimal lima puluh
notification terkirim ke facebookku,
kadang aku membiarkannya, mengendap di sana, tanpa kubaca. Sudah setahun semenjak
peristiwa kecelakaan itu. Aku menyibukkan diri pada sesuatu yang kusebut Miss Stalker. Aku merasa dia telah
menjadi bagian terpenting dalam hidupku. Bagaimana tidak karenanya aku berhasil
mengatasi perasaan terintimidasi oleh keganasan ibu–ibu rumpi. Aku bisa membalas
umpatan mereka dengan lantang, mengucap sumpah serapah sesukaku, tanpa perlu
berhadapan langsung. Tentu saja aku sangat ingin melabrak si biang gosip, namun
aku memilih seolah-olah tak peduli dengan mereka. Aku ingin mereka melihatku baik–baik
saja.
Setengah jam berlalu, duduk mengamati
bentuk Jembatan IV dari bawah pohon trembesi. Jembatan yang menghubungkan
antara Kecamatan Palu Barat dan Palu Timur yang lebih terkenal dengan nama Jembatan
Kuning. Sesekali aku berpindah tempat mencari angel yang pas untuk mengabadikan potret objek yang membentang
dihadapanku. Tak berapa lama dari kejauhan sosok seorang pria menghampiri
tempatku berpijak. Aku tak bermaksud seperti tak menyadari kedatangannya. Sampai
ketika pria itu bertanya, “Sendirian?,” sosok itu tersenyum tipis, basa–basi
seperlunya, akupun mengangguk sambil lalu, namun sekilas memperhatikan
perawakan pria yang kini telah merebahkan bahunya pada pohon di tempat semula
aku duduk. Pria yang tampak lebih tua dariku itu bertubuh kurus, tingginya
kira–kira 170 cm, berkulit sawo matang, bermata teduh. Pria itu meletakkan
ransel ke atas pangkuannya, merogoh ke dalam tas, lalu mengeluarkan selembar
kertas dan sebuah pensil. Sekitar lima menit melempar pandang ke objek yang sama
seperti yang kuamati. Kemudian pria yang berumur sekitar 30-an itu dengan
luwesnya
menggerakkan jemarinya, membuat sketsa.
Setelah menyikat gigi dan meminum
segelas air putih aku menaiki ranjang tempat tidurku. Merenung sejenak sambil
mengendus kesal mengingat perbincangan di ruang makan tadi. Tentang aku yang mendadak
memutuskan berhenti dari tempatku bekerja. “Biarlah mereka berpikir dengan cara
mereka sendiri, aku pun berhak tak memberikan penjelasan,” pikirku. Empat tahun
enam bulan menempuh pendidikan sebagai mahasiswi teknik. Meski tidak mendapat
predikat Cum Laude setidaknya aku
pernah menjadi salah satu mahasiswi berprestasi yang terbukti dengan terpilihnya
aku menjadi Beswan Djarum. Sejarah
masa lalu yang cukup membanggakan, namun seakan tak berarti saat ini.
Kenyataannya sudah berbulan-bulan aku menjadi penghuni tetap kamar tidurku. Menunggu
panggilan interview. Awalnya aku
bukanlah tipe orang yang aktif di sosmed.
Hp bagiku sudah bisa digunakan untuk menelpon
dan mengirim pesan saja itu lebih dari cukup. Aku tidak tertarik dengan
aplikasi dunia maya yang penuh dengan kepalsuan, tidak penting bagiku, hanya
membuang–buang waktu. Ternyata aku salah. Aku berubah. Tiga bulan belakangan
ini aku telah menjadi seorang maniak facebook.
Miss
Stalker. Foto profil pemilik akun itu menampakkan
sosok gadis muda, berhidung mancung, kulit kuning langsat, bibir kecil dan
bermata bulat yang besar. Siapa yang tidak ingin berteman dengannya, sebagian
besar permintaan pertemanan yang dikonfirmasi berasal dari kumpulan kaum adam. Akun
ini menjadi viral, memiliki ribuan followers. Dialah ratu dunia maya, bukan
sekadar berwajah cantik, tapi juga memiliki kepribadian yang menarik. Akun ini sering
memposting artikel yang tiap kali muncul
diberanda seakan memberi motivasi tersendiri bagi pembacanya. Tak heran sekali posting status minimal mendapat seribu like dari teman dunia maya, termasuk
tetanggaku yang hobi rumpi sering kali berjubel membanjiri kolom komentarku. Meskipun
biodata, termasuk foto yang kuupload adalah
palsu, tetapi konten cerita yang kubagikan benar terjadi di kehidupan. Dan melalui
akun ini pula aku bisa berkenalan dengannya.
Sore itu aku menyesap secangkir saraba, sambil menatap keluar jendela
ruang kerjaku. Beruntung menyaksikan pemandangan laut biru di depan kantor
baruku. Semilir angin yang berhembus, deburan pasir bertabrakan dengan ombak, bunyi
kicau burung–burung, juga pohon kelapa berjajar menjulang tinggi. Aku bisa
melihatnya dengan jelas dari sini, terkadang jiwaku seolah ikut hanyut ke dalam
dasarnya. Ditambah lagi penjual minuman sejenis Susu Telur Madu Jahe ini bisa
kupesan dan diantar langsung ke ruanganku.
“Lengkap sudah kenyamanan ini,” gumamku
seraya bertopang dagu. Sore itu pukul 17.15 WITA. Sebenarnya sejak jarum jam menunjukkan
lagi lima menit pukul lima, karyawan di perusahaan ini sudah seperti cacing
kepanasan, ingin segera meninggalkan perusahaan. Sepertinya hanya aku saja yang
terlihat betah berlama–lama di kantor. Mengapa tidak memanfaatkan free wifi bisa membantuku menghemat pembelian
paket data internet. Aku juga bisa kembali keduniaku, dunia palsu yang
kuciptakan, meskipun secara kesuluruhan tidaklah palsu.
Aku membuat album berisi kumpulan
beberapa foto Jembatan Kuning yang kujepret seminggu yang lalu. Mengingat hari
itu, terlintas di benakku tentang sosok pria yang sempat menyapaku, meskipun akhirnya
kami tidak melanjutkan obrolan, tidak saling menanyakan nama, apalagi bertukar
nomor telepon. Semenit kemudian setelah memposting
album, aku mendapat inbox. Tertulis
disitu, “Bisakah aku bertemu wujud asli pemilik akun ini?.” Aku terdiam sejenak
berusaha mencerna maksud kalimat itu. Aku mengerti, orang ini bisa saja
mengetahui identitas asliku. Alih–alih bertanya ini lebih terlihat sebagai
peringatan. “Tapi siapa dia?.” Aku tidak pernah menceritakan kepada siapapun
perihal akun ini. Aku lekas membuka profil pengirim pesan. Acen Darius, begitu nama yang tertera di sana, namun nama itu tidak
menjelaskan apa–apa. Acen tidak mengisi biodata seperti nomor kontak, jenis
kelamin, bahkan dia tidak pernah memposting
apapun mengenai dirinya. Dia hanya berteman secara serampangan, kulihat dari
daftar pertemanannya yang hanya berjumlah lima puluh orang, termasuk aku salah
satunya. Bahkan aku tidak pernah ingat kapan mulai berteman dengannya. Aku tidak
membalas pesan itu.
“Aku tidak boleh gegabah bisa jadi orang
ini hanya asal bertanya. Mari kita lihat apa langkah selanjutnya yang akan
dilakukan Acen Darius,” gerutuku.
Untuk pertama kalinya aku penasaran pada
teman dunia maya, sebelumnya aku tak peduli mereka tak mengenalku secara asli,
akupun tak begitu ingin tahu siapa mereka, ini hanya sebatas pelarian yang
kugunakan ketika bosan dengan rutinitas teratur. Setiap orang memiliki cara
sendiri menikmati kesendiriannya. Sebulan setelah menerima pesan. Acen kembali
mengirimiku. Kali ini bukan pertanyaan yang berbau identifikasi. Dugaanku
meleset mengenai Acen yang akan menyerang dengan mencari bukti untuk membongkar
kedok Miss Stalker atau mengancamku agar
memberikan uang tutup mulut karena telah melakukan pelanggaran UU ITE. Seperti pada beberapa kasus
penyalahgunaan akun yang sempat booming
di media online baru–baru ini. Kenyataannya
berbalik seratus delapan puluh derajat. Kami malah mulai berkomunikasi dengan
rutin, seperti layaknya teman dekat, sering chatting
di messenger, saling berbagi cerita
mengenai kehidupan kami. Segala hal semakin intens, terkadang saking mengalirnya
sampai melewatkan jam makan siangku. Lama–kelamaan terasa seakan-akan seperti
sepasang kekasih yang menjalani long
distance relationship. Bedanya aku tidak mengetahui dengan pasti kepada siapa
aku mengirim pesan. Aku sempat berpikir ini gila jika aku sampai jatuh cinta
pada orang asing yang belum pernah kutemui, karena bisa jadi Acen adalah
seorang wanita. Aku belum pernah mendengar suaranya. Aku takut jika ingin berbicara
dengannya, dia akan mengajakku untuk bervideo
call. Itu akan membuka rahasiaku sendiri, yang selama ini telah kusimpan
dengan baik. Dia mungkin sudah tahu rahasiaku. “Entahlah, aku masih belum siap
dengan segala kemungkinan,” erangku dalam hati. Aku sudah terlanjur terjebak
dalam situasi ini. Tetapi mengapa bimbang? Toh,
tidak ada yang merasa dirugikan, kami menghargai cara pertemanan kami sebatas ini.
Acen sendiripun tidak pernah mengajakku VC
ataupun bertemu, mungkin dia berpikir dumay
sudah biasa dengan permainan, jadi aku tinggal melanjutkan saja. Setidaknya
untuk sementara ini, hingga kami telah mencapai titik jenuh dari penggunaan sosmed. Walaupun begitu entah mengapa jujur
di dalam hati, aku mulai rindu pada kekonyolan kata–kata Acen yang membuatku
tertawa, yang kerap kali diselipkannya dalam percakapan kami.
Malam minggu. Aku menghabiskan waktu di kantor.
Mencoba menyelesaikan rekap laporan bulanan yang seperti biasa kukerjakan. Aku
berniat mengejar batas deadline proyek
yang sebelumnya sempat mandek akibat doublejob
yang kuterima. Tidak mudah memiliki pekerjaan cadangan, setelah dinyatakan terikat
pada kontrak perjanjian kerja yang harus kujalani selama tiga tahun kedepan,
tentunya bekerja secara fulltime. Ya,
aku bekerja di sebuah Perusahaan Kontraktor. Arthur Paradise, nama perusahaan tempatku bekerja saat ini. Aku
terbiasa bekerja di bawah tekanan, selama kinerja yang kuhasilkan sebanding
dengan upah yang kudapatkan, begitulah prinsipku.
“Apa yang kau inginkan untuk makan
malam?,” suara seorang pria memecah keheningan diantara kami. Aku baru sadar
sedari tadi tidak sendirian di dalam ruangan ini.
“Kau bisa memesan padaku, karena aku
berencana keluar sebentar untuk mengisi bensin sekaligus membeli makanan,” jelasnya.
“Aku ingin makan tabaro dange,” sinar mataku berkilat–kilat saat menyebutkan nama jenis
makanan itu.
“Oke,” balas Moha singkat, mengerti
maksud tatapanku. Dia sudah meraih gagang pintu. Tak berapa lama sampai pemilik
tubuh jangkung itu menghilang dibalik pintu.
Sejam kemudian Moha telah kembali dengan
membawa bungkusan plastik berwarna hitam. Dia meletakkan bungkusan itu di atas
meja kayu persegi panjang. Aku segera menghampirinya, membuka bungkusan
mengatur isinya pada piring. “Kau mau kopi?,” tanyaku, sambil menuangkan gula pasir
ke dalam dua gelas kaca. Moha menatapku dari sudut meja kerjanya sembari
tersenyum kecil. Aku mendekat ke arahnya, membawa dua gelas kopi dan sepiring tabaro dange. Belum lima menit berdiri, Moha
sigap lekas menarik sebuah kursi, lalu diletakkan tepat di samping kursi yang
ditempatinya.
“Duduklah, aku ingin menunjukkan sesuatu,”
ucapnya lembut, sambil membuka folder pada dekstop komputernya. Aku melihat
beberapa gambar rendering desain
Ruang Terbuka Hijau yang dibuat olehnya.
“Ini bagus,” kataku, menatap dengan
kagum.
“Syukurlah,” Moha mendesah lega, “Bagaimana
dengan laporanmu?,” sambungnya lagi.
“Oh itu, hampir selesai, besok aku
tinggal membuat salinannya,” sambil memasukkan potongan demi potongan kudapan
khas Kota Palu yang terbuat dari sagu berisi gula merah itu ke dalam mulutku.
Aku sadar dia mengamatiku makan dengan lahap. Mata kamipun akhirnya beradu
ketika aku mulai meneguk kopi hitam yang sudah setengah jalan masuk
ketenggorokan, tiba–tiba aku tersedak. Moha lekas mengambilkan tisu, menempelkannya
ke sudut bibirku, aku refleks mengambil alih tisu itu, membersihkan sendiri, karena
saat itu aku merasa wajahku memanas, meski tidak sepanas seperti kala Acen
menggodaku diobrolan.
Keesokan harinya, aku sengaja bangun
terlambat. Hari ini libur, waktunya metime.
Aku bermalas–malasan, menghempaskan punggung ke sandaran ranjang tidurku
yang empuk. Aku teringat pada Moha. Malam itu kami duduk begitu dekat. Aku bisa
memperhatikan wajahnya dengan baik. Dia memilki mata cokelat yang indah. Aku
senyum–senyum sendiri ketika membayangkan kejadian itu. Moha adalah karyawan
baru yang sejak seminggu ini telah bekerja di perusahaan yang sama denganku. Dia
memilki kepribadian yang hangat, bertutur kata sopan. Hal itu yang membuatnya begitu
mudah menempatkan diri dan bekerjasama dalam tim. Aku merasa kami cocok menjadi
rekan kerja. Dia mengagumkan dan kami bisa bertukar pikiran secara live. Ketika memikirkan kalimat terakhir
membuatku terbesit pada seseorang yang tidak pernah berkomunikasi secara
langsung denganku. Lekas meraih handphone
yang semula kuletakkan di atas bufet
kecil. Sudah tiga hari ini aku tidak mengaktifkan Messenger. Terlalu sibuk membenamkan diri pada pekerjaan di kantor. Begitu kuaktifkan rentetan bunyi pesan
masuk dan pemberitahuan berdenting memenuhi ruang kamarku. Tentu saja dua puluh
lima pesan masuk dari Acen. Sementara kubaca satu persatu, tetapi belum selesai
membaca, tiba–tiba panggilan masuk tertera di layar. Acen menelponku. Sebelah
tanganku terangkat memegang hp, lalu kutempelkan
ketelinga.
“Halo Gea, kamu di mana?, mengapa baru
aktif sekarang?,” terdengar suara cemas di ujung sana. Acen sangat mengenalku.
Dia menyebutkan namaku. Sedikit lega bisa memastikan bahwa aku bukanlah seorang
lesbian. Meskipun begitu rasanya
masih tidak adil jika hanya aku yang tidak mengetahui siapa sebenarnya Acen Darius. Aku memintanya untuk
bertemu. Dia mengiyakan keinginanku, tetapi kami tidak bisa segera bertemu.
Acen harus menyelesaikan beberapa urusan pekerjaannya di Samarinda. Dia
berjanji awal bulan depan ia akan terbang berkunjung ke Kotaku. Sebagian fakta
baru terungkap. Mengenai Acen yang bekerja disalah satu Perusahaan Konsultan
terbesar di wilayah Kalimantan Timur, tepatnya di Samarinda Seberang. Entah mengapa
ketika Acen menyebutkan kota tempat domisilinya, mendadak membuatku sedih, membuka
tabir lama. Luka di masa lalu yang belum sepenuhnya terhapus. Meski kuakui kesedihan
itu mulai berkurang, bahkan pernah kulupakan, semenjak aku mengenalnya. Dia yang
membuatku bangkit kembali. Setiap obrolan kami, melalui akun Miss Stalker. Dia telah mengajariku
untuk ikhlas melepaskan dan tegar menghadapi kenyataan.
September 2017 adalah hari pertemuan
yang telah lama kunantikan. Butuh waktu sejam aku berdandan, mengenakan pakaian
terbaik. Betapa senangnya aku, karena sore itu aku bertekad untuk mengatakan
semuanya. Alasanku membuat akun palsu. Kami sepakat bertemu di salah satu rumah
makan khas kaili, yang menu utamanya menyajikan kaledo, sup tulang sapi yang dimasak empuk dengan campuran bumbu
seperti asam jawa, cabe rawit dan garam. Sup ini biasanya dimakan bersama
dengan ubi rebus. Bukan hanya hidangannya yang memanjakan lidah, tapi juga
suasana tradisional yang nyaman melekat erat pada rumah makan ini. Pada bagian
atap bangunan ini terbuat dari rumbia
dan berbentuk piramida menyerupai Rumah Tambi, Rumah Adat Tradisional Sulawesi
Tengah. Aku tiba lebih awal di rumah makan itu, dan memilih meja makan yang
dekat dengan jendela besar. Betapa terkejutnya aku setelah pergi sebentar memesan
makanan, mendapati sosok pria yang pernah kutemui sebelumnya, telah duduk
dibalik meja yang kupilih.
“Kamu orang yang membuat sketsa di
Jembatan Kuning itu?,” sambil menunjuk orang yang kumaksud, meskipun tidak
sopan.
“Benar itu aku, Gea Indriani.” Aku tidak
menyangka dengan apa yang akan kudengar, bahwa dari awal Acen sudah tahu soal Miss Stalker adalah akun palsu yang
sengaja kubuat. Acen melanjutkan penjelasannya. Dalam sekejap mata memori
setahun yang lalu kembali berputar di hadapan kami.
Malam itu langit berubah gelap, angin
berhembus kencang, merontokkan dedaunan pada pohon diiringi rintik hujan yang
semakin lama bertambah deras. Aku berlari keluar dari rumah, disusul oleh seorang
pria yang berlari mengejarku. Tanpa pikir panjang aku sudah melangkah menuju
jalan beraspal. Sebelum sempat menyeberang, terlebih dulu sebuah mobil melaju,
makin dekat kearahku. Aku pasrah dengan yang akan terjadi. Tahu–tahu sebuah
tangan mendorongku, aku tersungkur jatuh ke sisi jalan. Dari kejauhan samar kulihat
seorang pria tergeletak di sana, mulutnya bergerak seperti menyebutkan sebuah nama.
Aku tak mendengar apa yang dikatakannya, namun aku tau pria itu memanggil
namaku, perlahan. Sementara bercak darah segar yang berceceran mulai hilang oleh
guyuran air hujan.
Tak berapa lama akupun kehilangan
kesadaran. Air mataku seketika tumpah, jatuh
bercucuran, membasahi pipi dan berakhir di pangkuan. Pengemudi mobil itu adalah
Acen. Dia telah berusaha menyelamatkan kami, dengan melarikan aku dan pria itu ke
rumah sakit terdekat. Namun Tuhan berkehendak lain. Suamiku telah tiada.
Setelah peristiwa itu aku memutuskan pulang kerumah orangtuaku di Kota Palu.
Rupanya pertemuanku dengan Acen sewaktu itu bukanlah kebetulan. Dia ingin
meminta maaf, namun bibirnya beku ketika mendapati sikapku yang tak acuh, meskipun
dia sadar aku tak mengenali dirinya. Acen sudah lama mencari tahu tentangku.
Dia dihantui oleh rasa bersalah, apalagi setelah dia mendengar kabar bahwa setelah
kejadian itu aku mulai tertutup, menjauhkan diri dari pergaulan, dan berhenti dari
tempatku bekerja. Sampai ketika Acen menemukan akun yang memposting foto Jembatan Kuning. Dia langsung
tahu bahwa Miss Stalker adalah aku. Penjelasan
Acen berhenti seiring dengan datangnya pelayan yang menghampiri meja kami, membawakan
dua gelas air putih. Aku menghabiskan semangkuk kaledo, meskipun kuah sup telah berubah menjadi dingin. Setelah
hari itu kami tidak pernah lagi saling menghubungi. Sebenarnya aku tidak
membenci Acen. Terlepas dari semua hal yang telah terjadi. Aku telah jatuh
cinta.
Setahun kemudian tanpa sengaja kami bertemu
kembali. Di sore hari di tempat yang sama, duduk berdampingan memandangi
jembatan dari bawah pohon.
“Mungkin terlambat untuk mengatakan ini,
tapi kau harus tahu aku mencintaimu. Apakah kau telah menikah dengan pemilik
mata cokelat itu?,” kau pernah berkata dia mengagumkan,” tambahnya.
“Benar, dia memang mengagumkan, tapi sayangnya
aku sedang menunggu seseorang datang dari Kalimantan.” Acen tersenyum lebar dan
menatapku dengan mata yang berbinar–binar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar